Sabtu, 02 Januari 2016

Penyakit Autoimun Vitiligo

PENYAKIT AUTOIMUN
VITILIGO

A. DEFINISI PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit Autoimun  adalah penyakit  yang disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan (sistem imun) tubuh  pada kulit  dimana sel darah putih atau antibodi tubuh yang terlalu kuat sehingga melawan jaringan tubuh sendiri atau protein ekstraselular . Sistem imun tubuh terdiri atas sel darah putih, antibodi, dan substansi lainnya yang berfungsi untuk melawan infeksi atau protein asing. Sistem imun tubuh memiliki kemampuan untuk membedakan sel tubuh sendiri dan sel asing. Namun pada individu yang terkena penyakit auto-imun, sistem imun kehilangan kemampuan untuk membedakan sel tubuh dengan sel asing sehingga sistem imun akan menyerang sel tubuh sendiri . Penyakit autoimun menyerang organ yang bervariasi. Salah satu organ yang dapat diserang pada kasus autoimun adalah kulit. Penyakit autoimun pada lapisan dasar epidermis ditandai dengan kerusakan pada jaringan ikat dan formasi vesikula pada lapisan sub-epidermis 


B. DEFINISI VITILIGO
Vitiligo merupakan penyakit pigmentasi dimana melanosit dari kulit menjadi rusak. Sehingga, muncul belang putih pada kulit di berbagai bagian tubuh. Belang serupa juga muncul pada kedua selaput lendir, jaringan yang melapisi bagian dalam mulut hidung, begitu juga retina. Rambut yang tumbuh pada area yang terkena dampak vitiligo terkadang berubah menjadi berwarna putih. Vitiligo merupakan penyakit yang terjangkit pada sekitar 1% dari populasi. Vitiligo dianggap sebagai kondisi autoimun yang berdampak pada pria dan wanita dari segala usia dan ras. Sel dari sistem imun biasanya selalu menghadapi infeksi, tapi pada kasus vitiligo, para penderita memiliki sel sistem imun yang mulai menyerang sel pigmen dari kulit ( melanosit ). Itu bukan berarti karena sistem imun menjadi tidak atau kurang aktif tapi merupakan penyimpangan perilaku dari sistem imun.
C. KESALAHAN RESPON PADA KASUS VITILIGO
Terdapat dua mekanisme toleransi sistem imun.
 1.Seleksi secara positif oleh timus
dimana yang dipilih hanya sel T yang dapat mengenali peptida pada molekul Histocompatability Complex (MHC)  
2.Seleksi negatif
dimana sel T yang mengenali antigen-sendiri dengan afinitas yang terlalu tinggi dihapus melalui proses apoptosis dan tidak diizinkan untuk memasuki sirkulasi tubuh. Mekanisme yang menginduksi sistem autoimun pada kulit berkaitan dengan MHC dan genapoptosis.

D. MEKANISME PENYAKIT VITILIGO
Beberapa mekanisme yang berkaitan dengan penyakit autoimun pada kulit yaitu
1.     pelepasan antigen asing
2.     keberadaan faktor samar dari protein intraselular selama proses inflamasi
3.     aktivasi Sel T yang diinduksi oleh keberadaan antigen sendiri
4.     mimikri molekular oleh fragmen peptida tertentu oleh agen infeksius terhadap protein induk.

E. MEKANISME YANG NORMAL
Mekanisme patofisiologi yang menyebabkan terjadinya kerusakan melanosit secara selektif pada vitiligo ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor baik intrinsik seperti proses autoimun, mutasi genetik, gangguan migrasi dan proliferasi melanosit, stres, dan ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan, serta faktor ekstrinsik seperti senyawa toksik, agen fenolik, infeksi, dan adanya trauma diduga berperan dalam terjadinya kerusakan melanosit pada vitiligo (Dammak dkk., 2009 ). Stres oksidatif telah banyak diteliti dan diduga memiliki peranan dalam etiopatogenesis vitiligo. Adanya ketidakseimbangan antara oksidan yang terbentuk dan sistem pertahanan antioksidan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang diduga menyebabkan kerusakan pada melanosit. Hipotesis stres oksidatif berperan dalam terjadinya vitiligo didasarkan pada kenyataan bahwa dalam proses biosintesis melanin itu sendiri terjadi reaksi oksidatif yang menghasilkan ROS  ( Reactive Oxygen Species ). Salah satu ROS yang dihasilkan dari proses tersebut adalah adanya radikal superoksida (O2 -) dan hidrogen peroksida ( H2O2 ) yang bersifat toksik terhadap melanosit. Superoxide dismutase ( SOD ) adalah suatu metalloenzyme yang merupakan mekanisme pertahanan antioksidan utama yang bekerja sebagai penangkal dari radikal superoksida sehingga menurunkan toksisitasnya terhadap sel. Pada kondisi adanya paparan radikal superoksida, aktivitas SOD  yang bekerja sebagai antioksidan enzimatik lini pertama, bekerja dengan mengubah radikal superoksida ( O2 - ) ini menjadi hidrogen peroksida ( H2O2 ). Hidrogen peroksida yang kemudian terbentuk akan diubah menjadi oksigen ( O2 ) dan air ( H2O ) oleh antioksidan enzimatik kedua yaitu katalase . Terdapat tiga isoform SOD yang diproduksi oleh mamalia, yaitu SOD1 ( CuZn-SOD ) yang mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor logam, SOD2 ( Mn-SOD ) yang mengandung logam Mn, dan SOD3 ( ECSOD ), yang memiliki struktur serupa dengan CuZn-SOD dan juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn tetapi merupakan bentuk ekstraseluler (Briganti dan Picardo, 2002). Dalam kondisi vitiligo, studi sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan aktivitas SOD baik pada kulit maupun dalam darah penderita (Hazneci, 2005; Dammak, 2009; Sravani, 2009). Studi oleh Hazneci mendapatkan adanya peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada pasien vitiligo (Hazneci, 2004). Dammak dkk juga melakukan penelitian terhadap enzim antioksidan dan peroksidasi lipid pada level jaringan pasien dengan vitiligo aktif dan stabil dan mendapatkan bahwa aktivitas SOD meningkat pada pasien dengan vitiligo dibandingkan kontrol normal, dan lebih tinggi secara signifikan pada vitiligo yang aktif dibandingkan dengan vitiligo stabil (Dammak dkk., 2009). Lebih lanjut Sravani dkk meneliti stres oksidatif pada hasil biopsi kulit lesi dan non lesi pasien vitiligo dengan mengukur SOD dan katalase di tingkat jaringan dan mendapatkan bahwa kadar SOD pada kulit pasien vitiligo baik yang diambil pada lesi maupun non lesi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan kadar SOD pada lesi dan non lesi pasien vitiligo tidak berbeda secara bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa stres oksidatif yang terjadi tidak hanya pada lesi tetapi terjadi pada seluruh epidermis (Sravani dkk., 2009). Peningkatan aktivitas  SOD pada pasien vitiligo ini awalnya diduga sebagai suatu mekanisme adaptasi dari peningkatan paparan radikal superoksida yang terbentuk dalam proses biosintesis melanin. Adanya aktivitas SOD yang meningkat ini berisiko untuk terjadinya akumulasi hidrogen peroksida yang bersifat toksik terhadap melanosit. Akumulasi hidrogen peroksida yang tinggi selanjutnya dapat menginaktivasi enzim katalase yang seharusnya mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Akumulasi H2O2 jika terus menumpuk akan mengalami reaksi menjadi radikal hidroksil yang juga bersifat toksik terhadap melanosit dan dapat menyebabkan kematian melanosit (Hazneci, 2005; Dammak dkk., 2009; Sravani dkk., 2009). Laddha dkk selanjutnya berusaha mencari kemungkinan pemicu peningkatan aktivitas SOD pada penderita vitiligo dengan mempelajari peranan SOD di tingkat genetik dan mendapatkan adanya polimorfisme pada gen yang mengatur SOD2 dan SOD3 yang secara signifikan berhubungan dengan vitiligo. Polimorfisme genetik ini dikaitkan dengan aktivitas dari isoform SOD yang meningkat dan dihubungkan dengan progresi dan aktivitas penyakit. Polimorfisme pada gen yang mengatur SOD2 dan SOD3 ini juga diduga dapat sebagai faktor risiko genetik untuk kerentanan dan progresivitas vitiligo karena aktivitas SOD yang meningkat yang tidak disertai dengan aktivitas enzim katalase akan menyebabkan akumulasi hidrogen peroksida dalam sitoplasma, mitokondria, dan kompartemen ekstraseluler yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif yang lebih tinggi pada melanosit (Laddha dkk., 2013). Studi yang menghubungkan kadar superoxide dismutase dengan derajat keparahan vitiligo untuk mengetahui adanya korelasi antara kadar superoxide dismutase dalam darah dengan derajat keparahan vitiligo yang dinilai berdasarkan skor VASI ( Vitiligo Area Severity Indx ) dan dengan derajat aktivitas penyakit yang dinilai berdasarkan skor VIDA  ( Vitiligo Disease Activity ).

E. TERAPI PENGOBATAN
Terapi medikamentosa terbaru yang sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan zat immunomodulator golongan Makrolida yaitu Tacrolimus dan Pimecrolimus. Pemakaiannya dapat dilakukan secara topical atau oral. Tacrolimus merupakan hasil fermentasi dari Streptomyces tsukubaensis  yang bekerja menghambat transkripsi gen pembentuk sitokin pada limfosit T. Peristiwa yang terjadi saat antigen bertemu dengan limfosit T adalah suatu antigen yang berikatan dengan reseptor limfosit T akan menyebabkan peningkatan Ca intraseluler. Ca berikatan dengan calmodulin dan mengaktivasi calcineurin fosfatase.Calcineurin yang teraktivasi akan mendefosforilasi NF-AT ( Nuclear Factor of Activated T cells ). Hanya NF-AT yang sudah terdefosforilasi yang dapat berpindah dari sitosol ke dalam inti.Didalam inti,NF-AT akan berikatan dengan bagian promoter dari gen pembentuk sitokin sehingga terjadilah proses transkripsi.
Mekanisme kerja Tacrolimus adalah berpenetrasi kedalam membran limfosit T dan berikatan dengan reseptor intraseluler, FK-BP ( FK binding proteins ). Kompleks yang terbentuk dari kedua zat tersebut akan menghambat aktivasi calcineurin fosfatase sehingga transkripsi tidak berjalan dan sitokin tidak dihasilkan. Selain efek sebagai imunosupresi,Tacrolimus juga diketahui menghambat pelepasan histamin melalui mekanisme anti- IgE.
F. DAFTAR PUSTAKA

Ayadi L, Khabir A, Amouri H, Karray S, Dammak A, Guermazi M. Correlation of HER-2
overexpression with clinicopatholo-gical parameters in tunisian breast carcinoma. WJ Surg Oncol. 2008; 6:112.
Briganti S, Picardo M. 2003. Antioxidant activity, lipid peroxidation and skin disease. 
                 What’s new. Journal of the European Academy of Dermatology and 
                  Venereology (Abstract)  17: 663-669.
Dogan MD, Semsesttin Karaca MD and Muammer Esrefoglu MD, International Jornal of Deratology Volume 44, Issue 8, pages 638 -, 640, August 2005
Hazneci, Ersoy,  Aysun Bay Karabulut PhD, Cetin Ozturk MD, Kadir Batcioglu PhD, Gussoy Dogan MD, Semsesttin Karaca MD and Muammer Esrefoglu MD, International Jornal of Deratology Volume 44, Issue 8, pages 638 -, 640, August 2005
Ladda R, Bhandari AJ, Kasat VO, Angadi GS. A new technique to determine vertical dimension of occlusion from anthropometric measurements of fingers. Indian J Dent Res 2013; 24(3): 316-20.
Sridevi, V., Lakshmi, M.V.V.C., Manasa, M., & Sravani, M. 2012. Metabolic Pathways 
                  For The Biodegradation Of Phenol.



3 komentar: