PENYAKIT
AUTOIMUN
VITILIGO
A.
DEFINISI PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit Autoimun adalah
penyakit yang disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan (sistem
imun) tubuh pada kulit
dimana sel darah putih atau antibodi tubuh yang terlalu kuat sehingga
melawan jaringan tubuh sendiri atau protein ekstraselular . Sistem imun tubuh terdiri atas sel darah putih, antibodi, dan substansi lainnya yang berfungsi
untuk melawan infeksi atau protein asing. Sistem imun tubuh
memiliki kemampuan untuk membedakan sel tubuh sendiri dan sel asing. Namun pada
individu yang terkena penyakit auto-imun, sistem imun kehilangan kemampuan
untuk membedakan sel tubuh dengan sel asing sehingga sistem imun akan menyerang
sel tubuh sendiri . Penyakit
autoimun menyerang organ yang bervariasi. Salah satu organ yang dapat diserang pada kasus
autoimun adalah kulit. Penyakit autoimun pada lapisan dasar epidermis ditandai dengan kerusakan pada
jaringan ikat dan formasi vesikula pada lapisan sub-epidermis
B. DEFINISI VITILIGO
Vitiligo
merupakan penyakit pigmentasi dimana melanosit dari kulit menjadi rusak.
Sehingga, muncul belang putih pada kulit di berbagai bagian tubuh. Belang
serupa juga muncul pada kedua selaput lendir, jaringan yang melapisi bagian
dalam mulut hidung, begitu juga retina. Rambut yang tumbuh pada area yang
terkena dampak vitiligo terkadang berubah menjadi berwarna putih. Vitiligo
merupakan penyakit yang terjangkit pada sekitar 1% dari populasi. Vitiligo dianggap sebagai kondisi autoimun yang
berdampak pada pria dan wanita dari segala usia dan ras. Sel dari sistem imun
biasanya selalu menghadapi infeksi, tapi pada kasus vitiligo, para penderita
memiliki sel sistem imun yang mulai menyerang sel pigmen dari kulit ( melanosit
). Itu bukan berarti karena sistem imun menjadi tidak atau kurang aktif tapi
merupakan penyimpangan perilaku dari sistem imun.
C. KESALAHAN RESPON PADA KASUS VITILIGO
Terdapat dua mekanisme toleransi sistem imun.
1.Seleksi secara positif
oleh timus
dimana yang dipilih hanya sel T yang dapat mengenali peptida pada molekul
Histocompatability Complex (MHC)
2.Seleksi negatif
dimana sel T yang mengenali antigen-sendiri dengan
afinitas yang terlalu tinggi dihapus melalui proses apoptosis dan tidak diizinkan untuk memasuki sirkulasi
tubuh. Mekanisme yang menginduksi sistem autoimun pada kulit berkaitan dengan
MHC dan genapoptosis.
D. MEKANISME PENYAKIT VITILIGO
Beberapa mekanisme yang berkaitan dengan penyakit
autoimun pada kulit yaitu
1. pelepasan antigen asing
2. keberadaan faktor samar dari protein intraselular selama proses inflamasi
3. aktivasi Sel T yang diinduksi oleh keberadaan antigen
sendiri
4. mimikri molekular
oleh fragmen peptida tertentu oleh agen infeksius terhadap protein induk.
E. MEKANISME YANG
NORMAL
Mekanisme patofisiologi yang menyebabkan
terjadinya kerusakan melanosit secara selektif pada vitiligo ini belum
diketahui dengan pasti. Beberapa faktor baik intrinsik seperti proses autoimun,
mutasi genetik, gangguan migrasi dan proliferasi melanosit, stres, dan
ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan, serta faktor ekstrinsik seperti
senyawa toksik, agen fenolik, infeksi, dan adanya trauma diduga berperan dalam
terjadinya kerusakan melanosit pada vitiligo (Dammak dkk., 2009 ). Stres
oksidatif telah banyak diteliti dan diduga memiliki peranan dalam
etiopatogenesis vitiligo. Adanya ketidakseimbangan antara oksidan yang
terbentuk dan sistem pertahanan antioksidan menyebabkan terjadinya stres
oksidatif yang diduga menyebabkan kerusakan pada melanosit. Hipotesis stres
oksidatif berperan dalam terjadinya vitiligo didasarkan pada kenyataan bahwa
dalam proses biosintesis melanin itu sendiri terjadi reaksi oksidatif yang
menghasilkan ROS ( Reactive Oxygen Species
). Salah satu ROS yang dihasilkan dari proses tersebut adalah adanya radikal
superoksida (O2 -) dan hidrogen peroksida ( H2O2 )
yang bersifat toksik terhadap melanosit. Superoxide
dismutase ( SOD ) adalah suatu metalloenzyme yang merupakan mekanisme
pertahanan antioksidan utama yang bekerja sebagai penangkal dari radikal
superoksida sehingga menurunkan toksisitasnya terhadap sel. Pada kondisi adanya
paparan radikal superoksida, aktivitas SOD yang bekerja sebagai antioksidan enzimatik
lini pertama, bekerja dengan mengubah radikal superoksida ( O2 - )
ini menjadi hidrogen peroksida ( H2O2 ). Hidrogen
peroksida yang kemudian terbentuk akan diubah menjadi oksigen ( O2 )
dan air ( H2O ) oleh antioksidan enzimatik kedua yaitu katalase .
Terdapat tiga isoform SOD yang diproduksi oleh mamalia, yaitu SOD1 (
CuZn-SOD ) yang mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor logam, SOD2 ( Mn-SOD
) yang mengandung logam Mn, dan SOD3 ( ECSOD ), yang memiliki
struktur serupa dengan CuZn-SOD dan juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn
tetapi merupakan bentuk ekstraseluler (Briganti dan Picardo, 2002). Dalam
kondisi vitiligo, studi sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan aktivitas SOD
baik pada kulit maupun dalam darah penderita (Hazneci, 2005; Dammak, 2009;
Sravani, 2009). Studi oleh Hazneci mendapatkan adanya peningkatan aktivitas SOD
eritrosit pada pasien vitiligo (Hazneci, 2004). Dammak dkk juga melakukan
penelitian terhadap enzim antioksidan dan peroksidasi lipid pada level jaringan
pasien dengan vitiligo aktif dan stabil dan mendapatkan bahwa aktivitas SOD
meningkat pada pasien dengan vitiligo dibandingkan kontrol normal, dan lebih
tinggi secara signifikan pada vitiligo yang aktif dibandingkan dengan vitiligo
stabil (Dammak dkk., 2009). Lebih lanjut Sravani dkk meneliti stres oksidatif pada
hasil biopsi kulit lesi dan non lesi pasien vitiligo dengan mengukur SOD dan
katalase di tingkat jaringan dan mendapatkan bahwa kadar SOD pada kulit pasien
vitiligo baik yang diambil pada lesi maupun non lesi secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan kadar SOD pada lesi dan non
lesi pasien vitiligo tidak berbeda secara bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa
stres oksidatif yang terjadi tidak hanya pada lesi tetapi terjadi pada seluruh
epidermis (Sravani dkk., 2009). Peningkatan aktivitas SOD pada pasien vitiligo ini awalnya diduga
sebagai suatu mekanisme adaptasi dari peningkatan paparan radikal superoksida
yang terbentuk dalam proses biosintesis melanin. Adanya aktivitas SOD yang
meningkat ini berisiko untuk terjadinya akumulasi hidrogen peroksida yang bersifat
toksik terhadap melanosit. Akumulasi hidrogen peroksida yang tinggi selanjutnya
dapat menginaktivasi enzim katalase yang seharusnya mengubah hidrogen peroksida
menjadi air dan oksigen. Akumulasi H2O2 jika terus
menumpuk akan mengalami reaksi menjadi radikal hidroksil yang juga bersifat
toksik terhadap melanosit dan dapat menyebabkan kematian melanosit (Hazneci,
2005; Dammak dkk., 2009; Sravani dkk., 2009). Laddha dkk selanjutnya berusaha
mencari kemungkinan pemicu peningkatan aktivitas SOD pada penderita vitiligo
dengan mempelajari peranan SOD di tingkat genetik dan mendapatkan adanya
polimorfisme pada gen yang mengatur SOD2 dan SOD3 yang
secara signifikan berhubungan dengan vitiligo. Polimorfisme genetik ini
dikaitkan dengan aktivitas dari isoform SOD yang meningkat dan dihubungkan
dengan progresi dan aktivitas penyakit. Polimorfisme pada gen yang mengatur SOD2
dan SOD3 ini juga diduga dapat sebagai faktor risiko genetik untuk
kerentanan dan progresivitas vitiligo karena aktivitas SOD yang meningkat yang
tidak disertai dengan aktivitas enzim katalase akan menyebabkan akumulasi
hidrogen peroksida dalam sitoplasma, mitokondria, dan kompartemen ekstraseluler
yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif yang lebih tinggi pada melanosit (Laddha
dkk., 2013). Studi yang
menghubungkan kadar superoxide dismutase dengan derajat keparahan vitiligo untuk
mengetahui adanya korelasi antara kadar superoxide dismutase dalam darah dengan
derajat keparahan vitiligo yang dinilai berdasarkan skor VASI ( Vitiligo
Area Severity Indx ) dan dengan
derajat aktivitas penyakit yang dinilai berdasarkan skor VIDA ( Vitiligo Disease Activity ).
E. TERAPI PENGOBATAN
Terapi
medikamentosa terbaru yang sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan zat immunomodulator
golongan Makrolida yaitu Tacrolimus dan Pimecrolimus. Pemakaiannya dapat
dilakukan secara topical atau oral. Tacrolimus merupakan hasil fermentasi dari Streptomyces tsukubaensis yang bekerja menghambat transkripsi gen
pembentuk sitokin pada limfosit T. Peristiwa yang terjadi saat antigen bertemu
dengan limfosit T adalah suatu antigen yang berikatan dengan reseptor limfosit
T akan menyebabkan peningkatan Ca intraseluler. Ca berikatan dengan calmodulin
dan mengaktivasi calcineurin fosfatase.Calcineurin yang teraktivasi akan
mendefosforilasi NF-AT ( Nuclear Factor of Activated T cells ). Hanya NF-AT
yang sudah terdefosforilasi yang dapat berpindah dari sitosol ke dalam
inti.Didalam inti,NF-AT akan berikatan dengan bagian promoter dari gen pembentuk
sitokin sehingga terjadilah proses transkripsi.
Mekanisme
kerja Tacrolimus adalah berpenetrasi kedalam membran limfosit T dan berikatan
dengan reseptor intraseluler, FK-BP ( FK binding proteins ). Kompleks yang
terbentuk dari kedua zat tersebut akan menghambat aktivasi calcineurin
fosfatase sehingga transkripsi tidak berjalan dan sitokin tidak dihasilkan.
Selain efek sebagai imunosupresi,Tacrolimus juga diketahui menghambat pelepasan
histamin melalui mekanisme anti- IgE.
F. DAFTAR PUSTAKA
Ayadi L, Khabir A, Amouri H, Karray S, Dammak
A, Guermazi M. Correlation of HER-2
overexpression with clinicopatholo-gical
parameters in tunisian breast carcinoma. WJ Surg Oncol. 2008; 6:112.
Briganti S, Picardo M. 2003. Antioxidant activity, lipid peroxidation and
skin disease.
What’s new. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology
(Abstract) 17: 663-669.
Dogan MD, Semsesttin
Karaca MD and Muammer Esrefoglu MD, International
Jornal of Deratology Volume 44, Issue
8, pages 638 -, 640, August 2005
Hazneci, Ersoy, Aysun Bay Karabulut PhD, Cetin Ozturk MD,
Kadir Batcioglu PhD, Gussoy Dogan MD, Semsesttin Karaca MD and Muammer
Esrefoglu MD, International Jornal of
Deratology Volume 44, Issue 8, pages 638 -, 640, August 2005
Ladda R, Bhandari AJ,
Kasat VO, Angadi GS. A new technique to
determine vertical dimension of occlusion from anthropometric measurements of
fingers. Indian J Dent Res 2013; 24(3): 316-20.
Sridevi,
V., Lakshmi, M.V.V.C., Manasa, M., & Sravani, M. 2012. Metabolic Pathways
For The
Biodegradation Of Phenol.